Nama Sitti Nurbaya pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia karena Sitti Nurbaya ini adalah judul novel yang pernah populer pada masanya dan saat ini pula masih sering dikaitkan dengan permasalahan tertentu, misalnya dalam hal perjodohan.
Novel Sitti Nurbaya adalah novel bahasa Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli seorang penulis dari Minangkabau dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922.
Tidak hanya menerbitkan novel Sitti Nurbaya, Balai Pustaka juga menerbitkan beberapa jenis buku lainnya seperti kamus, majalah, buku politik, sosial, agama, ekonomi, buku bacaan umum, dan masih banyak lagi.
Perlu diketahui bahwa Balai Pustaka adalah perusahaan penerbitan dan percetakan yang ada di bawah naungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan berdiri pada tanggal 14 September 1908 dengan nama saat itu Commissie voor de Inlansche School en Volklectuur yang berarti Komisi untuk Bacaan Rakyat.
Balai Pustaka ini didirikan dengan beberapa tujuan utama, di antaranya:
1. Untuk meluaskan bahasa-bahasa daerah lewat karya tulisan di Hindia Belanda.
Sejak berdiri, perusahaan ini menerbitkan beberapa buku dan majalah dalam berbagai bahasa antara lain bahasa Jawa, Madura, Sunda, Aceh, Batak, dan Makassar yang ditulis dengan menggunakan huruf Latin, Melayu, Jawa, bahkan Arab.
2. Untuk menghalangi tingginya kobaran perjuangan Indonesia yang hanya bisa disampaikan melalui karya tulisan.
Sebelum Balai Pustaka berdiri, bermacam tulisan anti Belanda bertebaran di koran daerah berskala kecil sehingga untuk mengalihkan gejolak tersebut didirikanlah perusahaan ini agar tulisan yang dimuat lebih manusiawi dan tidak berlawanan dengan kepentingan bangsa Belanda di Indonesia.
3. Untuk menerjemahkan dan mengadaptasi karya sastra Eropa sehingga rakyat Indonesia buta dan tidak mengetahui informasi yang sedang berkembang di Indonesia.
[read more]
Ternyata tidak semua yang ada di perusahaan ini terutama tujuannya adalah hal yang negatif, tetapi mereka juga melakukan hal positif seperti membentuk perpustakaan di sekolah, menyediakan peminjaman buku dengan tarif yang murah, dan memberikan bantuan kepada usaha swasta supaya bisa mengadakan taman baca.
Selain itu Balai Pustaka juga menerbitkan majalah Panji Pustaka dan Sari Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen, Jawa, dan bahasa Sunda serta majalah anak berbahasa Melayu dan Jawa.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa novel Sitti Nurbaya juga adalah salah satu novel terbitan Balai Pustaka yang paling populer.
Pada masa novel tersebut diluncurkan dijadikan sebagai penanda penyebaran sastra Jawa Modern karena pada saat itu buku berbahasa Jawa jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu.
Menurut Geoge Quinn, pada catatan Balai Pustaka tahun 1920 terdapat 40 buku berbahasa Madura, 80 buku berbahasa Melayu, 100 buku berbahasa Sunda, dan sekitar 200 buku yang berbahasa Jawa.
Pada tahun itu pula lahirlah novel berjudul Serat Rijanto hasil karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa Modern.
Saat namanya masih Commisie voor de Inlansche School en Volkslectuur, perusahaan ini dipimpin oleh G.A.J. Hazeu yang kemudian digantikan oleh D.A. Rinkes.
Terdapat beberapa sastrawan Indonesia yang pernah menjabat sebagai redaktur Balai Pustaka seperti Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Rusman Sutiasumarga, Abdul Hadi WM, Utuy Tatang Sontani, Subagio Sastrowardoyo, dan Hammid Jabbar.
Ada pula beberapa cendekiawan Indonesia yang pernah menulis untuk Balai Pustaka sehingga kecurigaan terhadap perlawanan kepada Belanda semakin lama semakin berkurang.
Beberapa cendekiawan tersebut adalah Agus Salim, Mariah Ulfah Santoso, Mohammad Yamin, Mangunsarkoro, Sutomo, Amir Syarifuddin, Bahder Johan, Sumanang, dan Margonohadikumo.
Saat masa awal kemerdekaan, Balai Pustaka ini berkembang sangat pesat.
Hal tersebut disebabkan adanya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0689/M/1990 mengenai Hak Penerbitan Buku Pelajaran dan Buku Bacaan SD, SMP, SMA di seluruh Indonesia dipusatkan di Balai Pustaka.
Namun masa kejayaan tersebut harus berakhir pada tahun 2005 karena banyaknya semangat anti monopoli yang bertebaran.
Dampaknya adalah munculnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 pada tahun 2005 sehingga penerbitan buku sekolah tidak hanya dilakukan oleh penerbit Balai Pustaka saja.
Sejak saat itu Balai Pustaka kehilangan pengaruhnya dan munculah beberapa penerbit baru yang tentu menjadi rival dalam hal penerbitan buku.
Semakin hari nama Balai Pustaka semakin meredup dan terpuruk sehingga berimbas pada kinerja operasionalnya.
Hal tersebut menjadikan jajaran direksi Balai Pustaka harus berpikir bagaimana cara untuk menyelamatkan perusahaan ini dan melakukan sejumlah kebijakan seperti mengurangi jumlah pekerja dan menjual sebagian asetnya.
Selama kurang lebih 20 tahun tidak meluncurkan buku, saat ini Presiden Joko Widodo mempunyai rencana untuk menghidupkan kembali perusahaan legendaris ini dan saat ini pula Balai Pustaka berusaha untuk menemukan momen kebangkitannya kembali sebagai perusahaan penerbit buku berkualitas.
[/read]